Apakah tepatnya yang dimaksud dengan hukuman? Pada dasarnya, hukuman
adalah segala bentuk konsekuensi tidak menyenangkan yang diberikan
sebagai respon atas perilaku yang tidak diinginkan, dengan maksud
mengurangi munculnya atau menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan
tersebut.
Hukuman memang dapat mengubah cara seorang berperilaku, namun berbagai penelitian membuktikan bahwa efektifitas hukuman sangat bervariasi, dan hukuman bukan merupakan solusi yang ideal untuk mengajarkan anak mengenai tata cara berperilaku yang baik. Bagi sebagian orang, menghukum dengan cara mencubit, memukul, menjewer, mengikat, membentak dan memarahi anak dianggap sebagai hal yang wajar. Hal ini didukung oleh pandangan bahwa anak adalah milik orang tua, sehingga anak harus hormat dan tunduk pada perintah dan keinginan orang tua. Pandangan tersebut seolah menjadi pembenaran atas maraknya pemberian hukuman yang dapat dengan mudah berkembang menjadi kekerasan dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan fisik, mental, dan psikologis anak. Dampak negatif ini tidak saja berlaku untuk hukuman-hukuman “tradisional”, yaitu yang bersifat fisik (mencubit, memukul, menampar, mengikat, mengurung, dll) maupun non-fisik (membentak, memarahi, merendahkan, mempermalukan, dll), namun juga dapat berlaku bagi hukuman dalam bentuk lainnya, bila tidak disertai penjelasan yang memadai dan pemahaman dari anak yang mendapatkan hukuman. Lalu apa sajakah dampak buruk yang mungkin muncul akibat pemberian hukuman?
1. Tidak mengajarkan tata cara berperilaku yang baik Saat digunakan sendiri, hukuman tidak mengajarkan perilaku yang baik, karena hanya mengajarkan apa yang tidak boleh dilakukan, bukan apa yang sebaiknya dilakukan.
2. Menciptakan jarak antara anak dan orang yang memberikan hukuman Anak yang dihukum cenderung menghindari orang yang menghukum mereka dan situasi dimana hukuman tersebut diberikan. Hal ini tentu akan mempersulit orang tua dan para guru di sekolah untuk membina hubungan baik dan mendidik anak-anak. Anak-anak pun dapat menyimpan rasa takut, rasa kesal dan kebencian terhadap orang-orang yang menghukum mereka.
3. Hukuman seringkali hanya menekan, bukan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan Anak yang dihukum belajar untuk tidak mengulangi perilaku yang dihukum, namun juga bahwa perilaku tersebut dapat diulangi bila kemungkinan ia dihukum atas perilaku tersebut mengecil. Karena hukuman hanya mengajarkan apa yang tidak boleh dilakukan dan berbagai cara untuk menghindar dari hukuman, maka orang yang dihukum hanya menghentikan perilaku tersebut sampai ia berhasil menghindari hukuman atau ketika ia merasa bahwa kepuasan yang didapat dengan melakukan perilaku tersebut dinilai setimpal dengan hukuman yang mungkin diterima.
4. Munculnya berbagai hambatan dalam berperilaku Anak yang menerima hukuman belajar bahwa salah satu cara menghindari hukuman adalah dengan tidak melakukan apapun yang menyerupai tindakan yang dihukum. Ini dapat membuat anak jadi takut mencoba hal-hal baru, takut berinisiatif dan takut salah, karena kesalahan berarti hukuman. Anak pun akan belajar untuk berbohong demi menghindari hukuman, hal ini akan menyulitkan dalam mendidik anak mengenai kejujuran.
5. Menjadi contoh yang buruk Seorang anak yang kerap menyaksikan orang dewasa menyelesaikan permasalahan dengan hukuman akan belajar untuk menggunakan hukuman untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri. Hal ini terutama berbahaya bila hukuman tersebut berupa pukulan, tamparan, ataupun kekerasan verbal.
6. Munculnya rasa kesal, dan keinginan untuk membalas pada anak Anak yang sering mendapatkan hukuman secara tidak adil kemungkinan besar akan merasa kesal terhadap orang yang memberikan hukuman. Hal ini tergantung pada tingkat kedewasaan anak, jenis hukuman yang diberikan, dan seberapa besar ia menyalahkan pemberi hukuman atas kondisinya. Seorang anak dapat menyimpan rasa kesal dan keinginan untuk membalas dendam terhadap orang yang menghukumnya. Bila anak tidak dapat menyalurkan kekesalan tersebut, maka ia dapat mengalihkannya kepada orang lain, misalnya dengan bersikap agresif ataupun melakukan kekerasan kepada orang lain.
7. Memicu penilaian diri yang negatif Konsep diri seseorang tergantung pada bagaimana mereka menilai diri mereka sendiri, dan penilaian ini terutama berasal dari orang-orang terdekat mereka, seperti keluarga (orangtua, saudara), teman, dan orang-orang yang mereka temui setiap hari. Anak-anak yang sering mendapatkan hukuman -terutama jika mereka tidak memahami kesalahan yang di lakukan- akan mengembangkan penilaian diri yang negatif. Mereka akan menjadi rendah diri dan tidak percaya akan kemampuan yang mereka miliki. Hukuman dan Penguatan Apabila perilaku yang tidak diinginkan perlu diberi konsekuensi negatif, yaitu hukuman, maka perilaku yang baik perlu diberi konsekuensi positif, atau penguatan. Penguatan adalah pemberian konsekuensi yang menyenangkan atas sebuah perilaku dengan tujuan meningkatkan kemungkinan diulanginya perilaku tersebut. Penguatan dapat berupa pemberian hadiah, pemberian hak tambahan, pujian, ucapan rasa terima kasih, dan lain lain. Untuk mengajarkan anak mengenai tata cara berperilaku yang baik, dibutuhkan keseimbangan antara pemberian hukuman dengan penguatan. Meskipun demikian, penguatan juga dapat memiliki efek buruk, yaitu ketamakan, materialisme, dan ketergantungan akan adanya “hadiah” setiap kali anak melakukan hal yang baik. Namun, efek buruk itu tergantung pada bagaimana hukuman atau penguatan tersebut diberikan, bukan pada hukuman atau penguatan itu sendiri.
Beberapa peneliti bahkan menemukan bahwa hukuman baru akan efektif jika diberikan setiap kali anak menunjukkan perilaku yang tidak diinginkan, sebaliknya penguatan akan efektif jika diberikan sesekali saja.
Lalu bagaimana caranya memberikan hukuman yang efektif dengan meminimalisir dampak negatifnya?
1. Tidak menghadapi anak dengan emosional Betapapun besarnya kesalahan yang dilakukan anak, hal terpenting yang perlu diingat adalah agar tidak bersikap emosional. Bila perlu, tenangkan diri dulu sebelum mencoba menegur anak atas kesalahannya. Dengan bersikap tenang, anak pun akan lebih mudah bersikap terbuka.
2. Tidak menggunakan hukuman “tradisional” Dulu, hukuman fisik dianggap sebagai sesuatu yang wajar untuk mengajarkan disiplin pada anak. Pada kenyataannya, berbagai penelitian menemukan bahwa hukuman-hukuman yang berpotensi melukai anak, baik secara fisik ataupun emosional, yaitu dengan memarahi, membentak, menyindir, meremehkan, menggunakan kata-kata kasar, dan lain lain, dapat memicu timbulnya berbagai gangguan psikologis pada anak, diantaranya gangguan kecemasan, depresi, rendah diri, dan perilaku agresif. Ada banyak macam hukuman yang bisa diberikan tanpa harus menyakiti anak, misalnya mengambil hak tertentu dari anak (misalnya hak untuk menonton televisi dan bermain di luar rumah). Tentu saja hukuman ini harus berhubungan dengan pelanggaran yang dilakukan anak, dan anak pun harus diberikan penjelasan dan pengertian mengenai mengapa dia mendapatkan hukuman tersebut dan apa tujuan pemberian hukuman tersebut.
3. Memastikan yang dihukum adalah perilaku, bukan orangnya Hukuman tidak boleh diberikan atau dipandang oleh anak sebagai serangan terhadap dirinya. Tidak ada gunanya menyebut seseorang dengan sebutan “anak nakal”, “anak manja”, “anak pemalas”. Kata-kata itu akan dianggap sebagai serangan pribadi dan membuat penerima hukuman bersikap defensif dan tertutup. Ditambah lagi, pemberian cap seperti “anak nakal”, “anak manja”, dan “anak pemalas” akan membuat anak percaya bahwa ia memang seperti itu, dan mengurangi kemungkinan anak untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik. Untuk mengatasi hal ini, pastikan bahwa anak yang Anda hukum mengerti bahwa Anda menganggapya sebagai orang yang berharga dan layak dicintai, yang mampu melakukan perbuatan yang Anda harapkan, meskipun tindakan yang baru saja ia lakukan tidak pantas. Satu hal yang dapat dilakukan adalah memberikan kesempatan pada anak yang baru dihukum untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan tidak lama setelah Anda menghukumnya, sehingga Anda bisa mengungkapkan rasa sayang dan penghargaan Anda terhadapnya, dan ia tidak kehilangan rasa percaya dirinya.
4. Sebutkan dengan jelas kesalahan yang dilakukan Anak tidak boleh dibiarkan menerka-nerka mengenai kesalahan yang ia lakukan. Meskipun pemberian hukuman tidak perlu selalu diikuti dengan “ceramah”, namun pemberian penjelasan perlu dipertimbangkan apabila keadaannya tidak jelas atau terdapat kemungkinan anak tidak mengerti alasan ia mendapatkan hukuman.
5. Berikan hukuman pada waktu yang tepat Bila Anda melihat seorang anak berniat melakukan tindakan yang tidak diinginkan (misalnya: memukul adik), maka peringati ia dan bila perlu, berilah hukuman sebelum ia melakukan tindakan tersebut (tentu saja Anda harus yakin terlebih dahulu bahwa ia memang akan melakukan hal tersebut). Apabila Anda menunggu hingga ia menyelesaikan tindakannya, maka hukuman yang diberikan pun harus lebih berat, dan harus ber”saing” dengan kepuasan yang ia dapatkan akibat tindakan tersebut (misalnya: membuat adik menangis akibat dipukul). Pengecualian terhadap hal ini adalah bila ada kemungkinan munculnya konsekuensi alami setelah anak melakukan perilaku tersebut. Apabila konsekuensi alami tersebut tidak membahayakan, maka ada baiknya membiarkan anak merasakan sendiri konsekuensi alami yang muncul akibat tindakannya. Konsekuensi alami merupakan hukuman yang terbaik karena terjadi secara alami dan tidak dibuat-buat oleh orang lain.
6. Sesuaikan hukuman dengan pelanggaran Pada praktiknya hal ini cukup sulit dilakukan, karena baik pemberi maupun penerima hukuman cenderung salah menilai tingkat keparahan hukuman yang diberikan atau pelanggaran yang dilakukan. Bila hukuman terlalu ringan, kepuasan yang didapatkan anank akibat melakukan tindakan yang dihukum akan dianggap setimpal dengan hukumannya. Namun bila hukuman terlalu berat, ada kemungkinan munculnya perilaku menghindar atau keinginan untuk membalas terhadap pemberi hukuman.
7. Sesuaikan hukuman dengan usia, tingkat kematangan dan karakter anak Hukuman yang diberikan kepada anak berusia 3 tahun tentu seharusnya berbeda dengan hukuman yang diberikan kepada remaja yang menginjak usia 17 tahun. Begitu juga dengan menghadapi anak yang berperangai keras tentu perlu dibedakan dengan anak yang berperangai lembut.
8. Pastikan bahwa hukuman yang diberikan adalah hal yang tidak menyenangkan bagi orang yang dihukum Efektifitas sebuah hukuman tergantung pada seberapa anak yang mendapatkan hukuman tersebut menganggapnya tidak menyenangkan. Apa yang dianggap sebagai hukuman oleh seseorang belum tentu dianggap sama oleh orang lain. Dan bahkan banyak hal yang kita pikir adalah hukuman bagi anak-anak ternyata justru merupakan penguatan atas perilaku mereka. Contoh: Rudi adalah murid yang disukai banyak teman-temannya. Ia sering mendapatkan hukuman dari guru karena mengganggu ketertiban kelas dengan lelucon-leluconnya saat kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung . Akibatnya, ia dikeluarkan dari kelas dan diminta menunggu di luar ruangan. Namun para guru tidak menyadari bahwa Rudi senang dikeluarkan dari kelas, karena ia tidak perlu mengikuti pelajaran yang menurutnya membosankan. Dengan demikian, hukuman yang diberikan kepada Rudi tidak tepat, karena Rudi tidak menganggap hukuman tersebut sebagai hal yang tidak menyenangkan, dan hukuman tersebut justru menguatkan perilaku Rudi.
9. Biarkan konsekuensi alami terjadi apabila memungkinkan Konsekuensi alami adalah konsekuensi yang tidak dibuat atau dikendalikan oleh orang lain. Kelebihannya adalah konsekuensi alami tidak membutuhkan adanya orang yang memberikan hukuman, sehingga anak hanya dapat menerima dan tidak dapat mengalihkan kekesalan akibat konsekuensi tersebut kepada orang lain. Contoh: Bobi bersepeda di dalam rumah, tanpa sepengetahuan orangtuanya ia mencoba menuruni tangga dengan sepedanya. Akibatnya ia terjatuh dan terluka. Orangtuanya tidak perlu lagi mengingatkan Bobi untuk tidak bersepeda menuruni tangga, karena Bobi sudah tahu apa yang mungkin terjadi bila ia mencoba melakukannya lagi. Kelemahan konsekuensi alami adalah adanya kemungkinan konsekuensi alami tidak terjadi, merujuk pada kasus di atas, mungkin saja Bobi berhasil menuruni tangga dengan sepeda tanpa terjatuh.
10. Gunakan konsekuensi logis bila konsekuensi alami terlalu berbahaya, atau belum bisa dipahami oleh anak Konsekuensi logis adalah konsekuensi yang sengaja dibuat oleh seseorang yang memiliki otoritas (misalnya: orangtua). Konsekuensi logis dapat digunakan untuk mencegah anak melakukan perilaku yang tidak diinginkan, atau membuat anak memperbaiki kesalahan yang timbul akibat perilaku yang tidak diinginkan tersebut. Contoh: Seorang anak acap kali tidak mematuhi permintaan orangtuanya untuk pulang ke rumah sebelum makan malam. Konsekuensi alaminya adalah orangtua menjadi khawatir, semua menjadi terlambat makan malam, makanan menjadi dingin, anak yang terlambat pulang harus makan malam sendirian, dan ibu tidak dapat membereskan meja makan sebelum anaknya pulang. Konsekuensi-konsekuensi tersebut belum tentu dianggap penting oleh anak-anak. Untuk mengatasi hal ini, orangtua dapat memberikan konsekuensi logis, baik untuk mencegah ataupun memperbaiki perilaku anak tersebut. Pencegahan : Selama beberapa hari, tidak mengizinkan anak keluar rumah sepulang sekolah. Namun anak diberikan kelonggaran seperti diajak bermain oleh orangtua, boleh mengajak teman ke rumah, boleh menonton televisi atau kegiatan menyenangkan lainnya. Perbaikan : Sebagai konsekuensi pulang larut, anak diminta untuk membereskan meja makan dan mencuci piring sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi tidak menyenangkan yang mengajarkan anak untuk bertanggungjawab atas tindakannya, dalam hal ini pulang larut.
11. Bila memungkinkan, gunakan hukuman bersamaan dengan penguatan Dengan begitu, Anda tidak hanya
memberitahu anak apa yang tidak boleh dilakukan, tapi juga apa yang boleh dilakukan. Contoh: Bobo dilarang pergi bermain keluar rumah bila kamarnya berantakan. Ia dapat didorong untuk menjadi lebih rapi dan teratur dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Bobo diizinkan keluar rumah bila kamarnya sudah selesai ia rapikan.
b. Orangtua dapat memberi pujian kepada Bobo atas kesediaannya merapikan kamar.
c. Bobo dapat diberi hadiah atau hak tambahan sebagai bentuk apresiasi atas kerapian kamarnya.
Hukuman memang dapat mengubah cara seorang berperilaku, namun berbagai penelitian membuktikan bahwa efektifitas hukuman sangat bervariasi, dan hukuman bukan merupakan solusi yang ideal untuk mengajarkan anak mengenai tata cara berperilaku yang baik. Bagi sebagian orang, menghukum dengan cara mencubit, memukul, menjewer, mengikat, membentak dan memarahi anak dianggap sebagai hal yang wajar. Hal ini didukung oleh pandangan bahwa anak adalah milik orang tua, sehingga anak harus hormat dan tunduk pada perintah dan keinginan orang tua. Pandangan tersebut seolah menjadi pembenaran atas maraknya pemberian hukuman yang dapat dengan mudah berkembang menjadi kekerasan dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan fisik, mental, dan psikologis anak. Dampak negatif ini tidak saja berlaku untuk hukuman-hukuman “tradisional”, yaitu yang bersifat fisik (mencubit, memukul, menampar, mengikat, mengurung, dll) maupun non-fisik (membentak, memarahi, merendahkan, mempermalukan, dll), namun juga dapat berlaku bagi hukuman dalam bentuk lainnya, bila tidak disertai penjelasan yang memadai dan pemahaman dari anak yang mendapatkan hukuman. Lalu apa sajakah dampak buruk yang mungkin muncul akibat pemberian hukuman?
1. Tidak mengajarkan tata cara berperilaku yang baik Saat digunakan sendiri, hukuman tidak mengajarkan perilaku yang baik, karena hanya mengajarkan apa yang tidak boleh dilakukan, bukan apa yang sebaiknya dilakukan.
2. Menciptakan jarak antara anak dan orang yang memberikan hukuman Anak yang dihukum cenderung menghindari orang yang menghukum mereka dan situasi dimana hukuman tersebut diberikan. Hal ini tentu akan mempersulit orang tua dan para guru di sekolah untuk membina hubungan baik dan mendidik anak-anak. Anak-anak pun dapat menyimpan rasa takut, rasa kesal dan kebencian terhadap orang-orang yang menghukum mereka.
3. Hukuman seringkali hanya menekan, bukan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan Anak yang dihukum belajar untuk tidak mengulangi perilaku yang dihukum, namun juga bahwa perilaku tersebut dapat diulangi bila kemungkinan ia dihukum atas perilaku tersebut mengecil. Karena hukuman hanya mengajarkan apa yang tidak boleh dilakukan dan berbagai cara untuk menghindar dari hukuman, maka orang yang dihukum hanya menghentikan perilaku tersebut sampai ia berhasil menghindari hukuman atau ketika ia merasa bahwa kepuasan yang didapat dengan melakukan perilaku tersebut dinilai setimpal dengan hukuman yang mungkin diterima.
4. Munculnya berbagai hambatan dalam berperilaku Anak yang menerima hukuman belajar bahwa salah satu cara menghindari hukuman adalah dengan tidak melakukan apapun yang menyerupai tindakan yang dihukum. Ini dapat membuat anak jadi takut mencoba hal-hal baru, takut berinisiatif dan takut salah, karena kesalahan berarti hukuman. Anak pun akan belajar untuk berbohong demi menghindari hukuman, hal ini akan menyulitkan dalam mendidik anak mengenai kejujuran.
5. Menjadi contoh yang buruk Seorang anak yang kerap menyaksikan orang dewasa menyelesaikan permasalahan dengan hukuman akan belajar untuk menggunakan hukuman untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri. Hal ini terutama berbahaya bila hukuman tersebut berupa pukulan, tamparan, ataupun kekerasan verbal.
6. Munculnya rasa kesal, dan keinginan untuk membalas pada anak Anak yang sering mendapatkan hukuman secara tidak adil kemungkinan besar akan merasa kesal terhadap orang yang memberikan hukuman. Hal ini tergantung pada tingkat kedewasaan anak, jenis hukuman yang diberikan, dan seberapa besar ia menyalahkan pemberi hukuman atas kondisinya. Seorang anak dapat menyimpan rasa kesal dan keinginan untuk membalas dendam terhadap orang yang menghukumnya. Bila anak tidak dapat menyalurkan kekesalan tersebut, maka ia dapat mengalihkannya kepada orang lain, misalnya dengan bersikap agresif ataupun melakukan kekerasan kepada orang lain.
7. Memicu penilaian diri yang negatif Konsep diri seseorang tergantung pada bagaimana mereka menilai diri mereka sendiri, dan penilaian ini terutama berasal dari orang-orang terdekat mereka, seperti keluarga (orangtua, saudara), teman, dan orang-orang yang mereka temui setiap hari. Anak-anak yang sering mendapatkan hukuman -terutama jika mereka tidak memahami kesalahan yang di lakukan- akan mengembangkan penilaian diri yang negatif. Mereka akan menjadi rendah diri dan tidak percaya akan kemampuan yang mereka miliki. Hukuman dan Penguatan Apabila perilaku yang tidak diinginkan perlu diberi konsekuensi negatif, yaitu hukuman, maka perilaku yang baik perlu diberi konsekuensi positif, atau penguatan. Penguatan adalah pemberian konsekuensi yang menyenangkan atas sebuah perilaku dengan tujuan meningkatkan kemungkinan diulanginya perilaku tersebut. Penguatan dapat berupa pemberian hadiah, pemberian hak tambahan, pujian, ucapan rasa terima kasih, dan lain lain. Untuk mengajarkan anak mengenai tata cara berperilaku yang baik, dibutuhkan keseimbangan antara pemberian hukuman dengan penguatan. Meskipun demikian, penguatan juga dapat memiliki efek buruk, yaitu ketamakan, materialisme, dan ketergantungan akan adanya “hadiah” setiap kali anak melakukan hal yang baik. Namun, efek buruk itu tergantung pada bagaimana hukuman atau penguatan tersebut diberikan, bukan pada hukuman atau penguatan itu sendiri.
Beberapa peneliti bahkan menemukan bahwa hukuman baru akan efektif jika diberikan setiap kali anak menunjukkan perilaku yang tidak diinginkan, sebaliknya penguatan akan efektif jika diberikan sesekali saja.
Lalu bagaimana caranya memberikan hukuman yang efektif dengan meminimalisir dampak negatifnya?
1. Tidak menghadapi anak dengan emosional Betapapun besarnya kesalahan yang dilakukan anak, hal terpenting yang perlu diingat adalah agar tidak bersikap emosional. Bila perlu, tenangkan diri dulu sebelum mencoba menegur anak atas kesalahannya. Dengan bersikap tenang, anak pun akan lebih mudah bersikap terbuka.
2. Tidak menggunakan hukuman “tradisional” Dulu, hukuman fisik dianggap sebagai sesuatu yang wajar untuk mengajarkan disiplin pada anak. Pada kenyataannya, berbagai penelitian menemukan bahwa hukuman-hukuman yang berpotensi melukai anak, baik secara fisik ataupun emosional, yaitu dengan memarahi, membentak, menyindir, meremehkan, menggunakan kata-kata kasar, dan lain lain, dapat memicu timbulnya berbagai gangguan psikologis pada anak, diantaranya gangguan kecemasan, depresi, rendah diri, dan perilaku agresif. Ada banyak macam hukuman yang bisa diberikan tanpa harus menyakiti anak, misalnya mengambil hak tertentu dari anak (misalnya hak untuk menonton televisi dan bermain di luar rumah). Tentu saja hukuman ini harus berhubungan dengan pelanggaran yang dilakukan anak, dan anak pun harus diberikan penjelasan dan pengertian mengenai mengapa dia mendapatkan hukuman tersebut dan apa tujuan pemberian hukuman tersebut.
3. Memastikan yang dihukum adalah perilaku, bukan orangnya Hukuman tidak boleh diberikan atau dipandang oleh anak sebagai serangan terhadap dirinya. Tidak ada gunanya menyebut seseorang dengan sebutan “anak nakal”, “anak manja”, “anak pemalas”. Kata-kata itu akan dianggap sebagai serangan pribadi dan membuat penerima hukuman bersikap defensif dan tertutup. Ditambah lagi, pemberian cap seperti “anak nakal”, “anak manja”, dan “anak pemalas” akan membuat anak percaya bahwa ia memang seperti itu, dan mengurangi kemungkinan anak untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik. Untuk mengatasi hal ini, pastikan bahwa anak yang Anda hukum mengerti bahwa Anda menganggapya sebagai orang yang berharga dan layak dicintai, yang mampu melakukan perbuatan yang Anda harapkan, meskipun tindakan yang baru saja ia lakukan tidak pantas. Satu hal yang dapat dilakukan adalah memberikan kesempatan pada anak yang baru dihukum untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan tidak lama setelah Anda menghukumnya, sehingga Anda bisa mengungkapkan rasa sayang dan penghargaan Anda terhadapnya, dan ia tidak kehilangan rasa percaya dirinya.
4. Sebutkan dengan jelas kesalahan yang dilakukan Anak tidak boleh dibiarkan menerka-nerka mengenai kesalahan yang ia lakukan. Meskipun pemberian hukuman tidak perlu selalu diikuti dengan “ceramah”, namun pemberian penjelasan perlu dipertimbangkan apabila keadaannya tidak jelas atau terdapat kemungkinan anak tidak mengerti alasan ia mendapatkan hukuman.
5. Berikan hukuman pada waktu yang tepat Bila Anda melihat seorang anak berniat melakukan tindakan yang tidak diinginkan (misalnya: memukul adik), maka peringati ia dan bila perlu, berilah hukuman sebelum ia melakukan tindakan tersebut (tentu saja Anda harus yakin terlebih dahulu bahwa ia memang akan melakukan hal tersebut). Apabila Anda menunggu hingga ia menyelesaikan tindakannya, maka hukuman yang diberikan pun harus lebih berat, dan harus ber”saing” dengan kepuasan yang ia dapatkan akibat tindakan tersebut (misalnya: membuat adik menangis akibat dipukul). Pengecualian terhadap hal ini adalah bila ada kemungkinan munculnya konsekuensi alami setelah anak melakukan perilaku tersebut. Apabila konsekuensi alami tersebut tidak membahayakan, maka ada baiknya membiarkan anak merasakan sendiri konsekuensi alami yang muncul akibat tindakannya. Konsekuensi alami merupakan hukuman yang terbaik karena terjadi secara alami dan tidak dibuat-buat oleh orang lain.
6. Sesuaikan hukuman dengan pelanggaran Pada praktiknya hal ini cukup sulit dilakukan, karena baik pemberi maupun penerima hukuman cenderung salah menilai tingkat keparahan hukuman yang diberikan atau pelanggaran yang dilakukan. Bila hukuman terlalu ringan, kepuasan yang didapatkan anank akibat melakukan tindakan yang dihukum akan dianggap setimpal dengan hukumannya. Namun bila hukuman terlalu berat, ada kemungkinan munculnya perilaku menghindar atau keinginan untuk membalas terhadap pemberi hukuman.
7. Sesuaikan hukuman dengan usia, tingkat kematangan dan karakter anak Hukuman yang diberikan kepada anak berusia 3 tahun tentu seharusnya berbeda dengan hukuman yang diberikan kepada remaja yang menginjak usia 17 tahun. Begitu juga dengan menghadapi anak yang berperangai keras tentu perlu dibedakan dengan anak yang berperangai lembut.
8. Pastikan bahwa hukuman yang diberikan adalah hal yang tidak menyenangkan bagi orang yang dihukum Efektifitas sebuah hukuman tergantung pada seberapa anak yang mendapatkan hukuman tersebut menganggapnya tidak menyenangkan. Apa yang dianggap sebagai hukuman oleh seseorang belum tentu dianggap sama oleh orang lain. Dan bahkan banyak hal yang kita pikir adalah hukuman bagi anak-anak ternyata justru merupakan penguatan atas perilaku mereka. Contoh: Rudi adalah murid yang disukai banyak teman-temannya. Ia sering mendapatkan hukuman dari guru karena mengganggu ketertiban kelas dengan lelucon-leluconnya saat kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung . Akibatnya, ia dikeluarkan dari kelas dan diminta menunggu di luar ruangan. Namun para guru tidak menyadari bahwa Rudi senang dikeluarkan dari kelas, karena ia tidak perlu mengikuti pelajaran yang menurutnya membosankan. Dengan demikian, hukuman yang diberikan kepada Rudi tidak tepat, karena Rudi tidak menganggap hukuman tersebut sebagai hal yang tidak menyenangkan, dan hukuman tersebut justru menguatkan perilaku Rudi.
9. Biarkan konsekuensi alami terjadi apabila memungkinkan Konsekuensi alami adalah konsekuensi yang tidak dibuat atau dikendalikan oleh orang lain. Kelebihannya adalah konsekuensi alami tidak membutuhkan adanya orang yang memberikan hukuman, sehingga anak hanya dapat menerima dan tidak dapat mengalihkan kekesalan akibat konsekuensi tersebut kepada orang lain. Contoh: Bobi bersepeda di dalam rumah, tanpa sepengetahuan orangtuanya ia mencoba menuruni tangga dengan sepedanya. Akibatnya ia terjatuh dan terluka. Orangtuanya tidak perlu lagi mengingatkan Bobi untuk tidak bersepeda menuruni tangga, karena Bobi sudah tahu apa yang mungkin terjadi bila ia mencoba melakukannya lagi. Kelemahan konsekuensi alami adalah adanya kemungkinan konsekuensi alami tidak terjadi, merujuk pada kasus di atas, mungkin saja Bobi berhasil menuruni tangga dengan sepeda tanpa terjatuh.
10. Gunakan konsekuensi logis bila konsekuensi alami terlalu berbahaya, atau belum bisa dipahami oleh anak Konsekuensi logis adalah konsekuensi yang sengaja dibuat oleh seseorang yang memiliki otoritas (misalnya: orangtua). Konsekuensi logis dapat digunakan untuk mencegah anak melakukan perilaku yang tidak diinginkan, atau membuat anak memperbaiki kesalahan yang timbul akibat perilaku yang tidak diinginkan tersebut. Contoh: Seorang anak acap kali tidak mematuhi permintaan orangtuanya untuk pulang ke rumah sebelum makan malam. Konsekuensi alaminya adalah orangtua menjadi khawatir, semua menjadi terlambat makan malam, makanan menjadi dingin, anak yang terlambat pulang harus makan malam sendirian, dan ibu tidak dapat membereskan meja makan sebelum anaknya pulang. Konsekuensi-konsekuensi tersebut belum tentu dianggap penting oleh anak-anak. Untuk mengatasi hal ini, orangtua dapat memberikan konsekuensi logis, baik untuk mencegah ataupun memperbaiki perilaku anak tersebut. Pencegahan : Selama beberapa hari, tidak mengizinkan anak keluar rumah sepulang sekolah. Namun anak diberikan kelonggaran seperti diajak bermain oleh orangtua, boleh mengajak teman ke rumah, boleh menonton televisi atau kegiatan menyenangkan lainnya. Perbaikan : Sebagai konsekuensi pulang larut, anak diminta untuk membereskan meja makan dan mencuci piring sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi tidak menyenangkan yang mengajarkan anak untuk bertanggungjawab atas tindakannya, dalam hal ini pulang larut.
11. Bila memungkinkan, gunakan hukuman bersamaan dengan penguatan Dengan begitu, Anda tidak hanya
memberitahu anak apa yang tidak boleh dilakukan, tapi juga apa yang boleh dilakukan. Contoh: Bobo dilarang pergi bermain keluar rumah bila kamarnya berantakan. Ia dapat didorong untuk menjadi lebih rapi dan teratur dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Bobo diizinkan keluar rumah bila kamarnya sudah selesai ia rapikan.
b. Orangtua dapat memberi pujian kepada Bobo atas kesediaannya merapikan kamar.
c. Bobo dapat diberi hadiah atau hak tambahan sebagai bentuk apresiasi atas kerapian kamarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar