Suasana
stasiun sudah cukup ramai. Sebuah kereta yang dikabarkan akan membawa penumpang
ke banyuwangi sudah terlihat mocongnya. 2 orang pemuda yang akan menaiki kereta
tersebut pun mulai bersiap.
PPKA :”Kepada seluruh penumpang. Kereta
api tawang alun akan masuk jalur 3. Sekali lagi kereta api tawang alun akan
masuk di jalur 3” (Bel stasiun berbunyi)
Begitulah
kira-kira kata dari PPKA stasiun malang. Benar saja berselang sekitar 5 menit.
Tampak sebuah kuda besi yang tetap tegar menerjang umur. Tetap setia menarik
ular besi meski banyak kuda lainya yang lebih kuat. Suara klaksonya cukup untuk
membuat semua orang menoleh sejenak untuk memperhatikanya. Itulah dia. CC201.
Dengan keluaran dayanya yang setara 2000 horse power. Dan umurnya yang sudah
melebihi 30 tahun kerja. Ia cukup perkasa untuk tidak menyerah pada jaman yang
terus berputar. Kupandangi selembar kertas panjang di tanganku. Kertas yang
bisa membawaku pergi ke ujung timur puLau jawa. Pantulan cahaya matahari pada
dinding stasiun sudah bewarna kekuningan yang itu artinya sang mentari akan
mulai menggelamkaan diri di ujung barat. Menunjukkan setiap insan agar segera
menutup matanya dan bangun esok hari dengan kondisi bugar. Karena stasiun
malang merupakan stasiun ke 2 yang baru dilalui oleh kereta ini. Sehingga
penumpang sepi dan itu artinya cukup mudah untuk masuk karena intensitas
penumpang yang keluar cukup sedikit. Aku mendapat gerbong ke 2 dari sang kuda
besi. Tepat di belakang gerbong bagasi. Berada di dalam sebuah ular besi.
Sinyal merah di depan lokomotif itupun sudah terangkat. Sebuah peluit nyaring
dari PPKA juga sudah berbunyi disambut dengan klakson panjang dari sang kuda
besi. Sang ular besi mulai sedikit-sedikit merangkak untuk mulai berjalan. Kepulan
asap mulai keluar dari lubang di atas sang kuda besi. Deru mesinya pun semakin
kencang menunjukkan sang masinis sudah siap untuk menjalankan sang kuda besi.
Setelah berada di jalur 3 selama beberapa menit. Ular besi ini sudah mulai
merangkak menuju jalur utama dan siap melanjutkan perjalanan. Tampak dari
sebelah kanan sang ular besi 3 jalur rel yang merupakan tempat untuk
tidur/langsir sang kuda. Namun hanya 1 dari ketiga rel itu yang masih nerkilau
ooleh matahari. 2 sisanya sudah mulai berkarat karena tidak pernah digilas oleh
roda yang tak pernah bocor. Setelah ular besi berpisah dengan stasiun malang
tampak berbgai rumah yang kebanyakn berstatus kumuh menurutku berada dekat
dengan rel kereta hingga menurutku akan susah saat rel di jalur ini harus
memiliki pasangan disampingnya. Karena rumah ini berjarak kurang dar 4 meter
dari rel kereta yang tentunya cukup berbahaya dan melanggar aturan.terdengar
suara klakson panjang dari ular besi dan disambut
dengan
khas oleh suara palan pintu perlintasan. Ting tung ting tung. Begitulah
kira-kira. Dan tampak pula sang penjaga pintu perlintasan yang duduk diposnya.
Sosok yang menyelamatkan banyak nyawa dari
tertabrak kerete mengingat sifat orang indonesia yang suka melanggar aturan.
Sebagai contoh saat aku pergi ke gramedia untuk membeli buku Max Havelaar yang
sampai sekarang masih belum selesai kubaca. Tampak di stan penjualan bulpen
tulisan
“jangan
coret-coret di kertas ini”
Namun
karena berhadapan dengan orang indonesia. Kertas tak berdosa itu tercoret
dengan coretan bulpen berbagai warna hingga seorang pelukis bisa mengatakan
bahwa kertas itu adalah sebuah lukisan abstrak
“bro liat tuh.” Sambil menunjuk ke kertas yang sudah disiksa
dengan biadab tersebut
“kenapa bro?”
“liat tuh.
Bangsamu. Bangsamu”
“urusan aturan kok sama orang indonesia”
Oke
memang bukan maksudku untuk menghina bangsaku sendiri namun. Yah negitulah apa
yang terjadi. Apabila ada kecelakaan kereta yang menabrak manusia hingga
meninggal. Masinis yang selalu disalahkan. Padahal apabila masinis menarik tuas
rem darurat untuk menyelamatkan nyawa orang tersebut. Justru seluruh nyawa
dalam sang ular besi itulah yang menjadi taruhan. Yah hidup itu memang
berbelit-belit. Tidak ada kata kebenaran mutlak.
Deru
suara sang kuda besi semakin kencang. Seakan ia akan melahap semua rel yang ada
dihadapanya. Kecepatan sang ular besi pun semakin bertambah hingga seolah-olah
akan memecahkan rekor kereta tercepat. Beberapa anak tampak senang saat kereta
lewat seolah aku melihat diriku sendiri dalam tubuh mereka. Setelah disajikan
dengan pemandangan kesumpekan kota malang yang sudah akan mengalahi kota
termacet. Sawah-sawah yang hijau mulai memanjakan mata. Tiba-tiba muncul sang
kondektur dari gerbong belakang yang tentunya bertujuan untuk mengecek tiket
apakah ada penumpang gelap yang naik.
“maaf
mas. Bisa saya liat tiketnya”
“tentu” kataku sambil menyerahkan tiketku
Plong
plong tiket itu dilubangi sebagai bukti bahwa tiket itu sudah digunakan. Meski
menurutku tidak perlu karena tanggal sudah tertera di tiket itu serta tujuan
yang akan dituju. Tak lama setelah pemandang sawah itu tampaklah sebuah stasiun
dengan canopy bewarna hijau dan papan naama yang tertuliskan warna disana.
Penumpang tamak sepi saat di stasiun ini. Hanya tampak beberapa pedagang
asongan yang bekerja mencari nafkah untuk sesuap nasi.
“mizone, mizone mizone. Aqua dingin aqua dingin aqua.yang
hasu yang has”
“dituku dituku dituku. Sayang anak sayang anak. Maian
bisa nyala nyala. Mek 10 ewu an.”
Begitulah terkadang
saat pedagang mainan sudah memperagakan mainanya seperti menyalakanya. Beberapa
tangisan dari anak kecil yang mengingingkan mainan tersebut. Sinyal pun sudah
terangkat lagi. Dan seperti di stasiun sebelumnya. Peluit ppka disambut klakson
panjang sang masinis. Deru lokomotof mulai terdengar lagi.
Saat sang ular besi
sudah mencapai stasiun bangil. Sang kuda penarik dilangsir ke belakang ular
sehingga posisiku sekarang berada di gerbong penumpang terakhir. Tentunya
karena aku akan ke timur dan tidak ada rel kereta yang lansung ke arah timur
dari stasiun malang. Saat aku sudah sampai di stasiun probolingo adzan maghrib
sudah terdengar. Gerbong pembangkit kerete pun mulai bekerja lebih keras untuk
menyuplai listrik untuk lampu dan ac yang ada. Beberapa penumpang sudah mulai
mengantuk. Beberapa juga masih menggosip.
“angin~ bawalah rinduku kepadanya”
Sepatah lagu yan pernah
kudengar dan masih belum kuketahui siapa yang menyanyikan.
Saat aku sudah melwati
jember hari sudah larut. Tidak ada yang dapat dilihat karena disana kekurangan
cahaya. Padahal apabila cahaya itu cujup banyak maka akan terbntang pemndangan
yang tidak dapat dilihat di kota malang. Jembatan yang sudah entah berapa puluh
tahun berdiri. Jalan-jalan yang berkelok mengikuti lekuk gunung. Terowongan
yang panjang dan gelap hingga kadang asap dari lokomotif menyesakkan hidung
karena bau HSD yang dibakar sebagai bahan bakar. Sungai yang jauh dibawah
jembatan yang seoalah mengalir tanpa dosa. Tak pernah berhenti meski dihalangi
oleh batu-batu kali yang tidak teratur namun terlihat serasi. Sawah-sawah di
kejauhan dengan gunung sebagai background seolah memvisualisasikan lukisan di
dunia nyata. Dan sebagainya yang tidak dapat diungkapkan. Nmaun karena prinsip akhirnya
setelah beberapa lama berselang aku sudah sampai di ujung paling timur pulau
jawa.
Welcome to banyuwangi.
Begitulah kira-kira mungkin tugu yang biasa berada di batas kota. Hingga aku
sampi di tujuan ku pun aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri
“selamat datang di
stasiun karang asem. Periksa barang bawaan anda dan selamat jalan bagi anda.
Semoga selamat sampai tujuan”
Kata-kata yang biasa
kudengar dari PPKA ysng bertugas di Stasiun Karangasem. Malam itu aku lupa
untuk menghubungi saudaraku di kota tersebut bahwa aku akan datang malam itu.
Karena dikota itu tidak seperti malang yang kadang ada angkot hingga jauh
larut. Maka aku harus menempuh sekitar 3 km untuk sampai. Tidak seperti malang
yang terkadang ramai di beberapa sudut. Disana sangat sepi seolah kota itu
telah diserang oleh wabah ppenyakit yang memusnahkan semua. Cuaca sangat dingin
hingga terasa seperti akan membekukan darah. Setelah beberapa puluh menit
berjalan seperti orang tanpa tujuan aku sampai dan segera bersiap untuk tidur.
bagus banget kak untuk dibaca
BalasHapusElever Agency